Monday, October 2, 2023

Malam yang Terjaga

 

MALAM YANG TERJAGA



Malam selasa yang sunyi kuisi dengan mencurahkan isi hati lewat diary dan doa-doa yang kupanjatkan pada Sang Maha Kuasa. Kutumpahkan segala beban dan keadaan, kuadukan semuanya tak satu kalimatpun kulewatkan. Kuhabiskan tangisku, aduanku, dan inginku disepanjang doa-doaku. Semua beban serasa terangkat dan lepas dari belenggu diri ini. Kuputuskan untuk membaca buku “Terapi Berpikir Positif” yang ditulis oleh Dr. Ibrahim El-Fiky. Pada bab pikiran mempengaruhi perasaan, banyak pelajaran yang bisa diambil. Salah satunya ketika pikiran kita mengenang kebahagiaan maka perasaan kita mengikuti kebahagiaan itu pun sebaliknya. Ku baca buku ini pelan-pelan sambil memeluk kesunyian dan kesendiriaan.

Tiba-tiba…

Dering telpon memecah kesunyian. Ternyata itu dia. Iya dia laki-laki yang pernah kuanggap segalanya, laki-laki yang kuanggap duniaku, rumahku, dan masa depanku. Laki-laki baik, kuat, penuh kasih sayang, dan penuh tanggung jawab. Sayangnya laki-laki itu tidak pernah menjadikanku rumah, tidak pernah membutuhkanku, dan aku bukanlah tujuannya.

Kembali ke cerita awal. Dering telpon itu tak langsung kuangkat. Perasaanku dan logikaku berperang untuk memutuskan “Apakah harus?” mengangkat atau membiarkan dering itu. Kemudian kuputuskan untuk menerima telponnya. Ku dengar suaranya yang sepertinya telah lelah dengan aktifitasnya hari ini “kamu kemana aja? Kamu gimana kabarnya? Kamu kenapa? Aku merindukan komunikasi seru kita.” Kalimat-kalimat itu sangat berisik dipikiranku. Namun tak berani kuutarakan. Yang terjadi hanya pertanyaan-pertanyaan yang dia lontarkan dan aku menjawab seadanya. dia bertanya tentang keadaanku dan aktifitasku. Namun bodohnya aku. Aku tak pernah bertanya bagaimana keadaannya, bagaimana perasaanya, bagaimana harinya dilewati. Tak pernah kutanyakan hal bahagia apa yang terjadi padanya. Hal berat apa yang dia pikul saat ini.

Tiba-tiba dia bercerita kegiatannya yang sedari pagi sampai malam yang begitu sibuk dengan segudang kepentingan yang dia tinggalkan akhir-akhir ini. Beberapa bulan ini dia disibukan dengan pengabdiannya pada Ibu yang sedang sakit. Dan Qodarulloh Ibu meninggal pada hari Minggu 24 September. Dia bercerita tentang kegelisahannya yang tidak bisa tidur. Pikirannya kemana-mana. Setiap sudut dirumahnya diisi kenangan bersama ibunya. Canda tawa bersama Ibunya, obrolan-obrolan ringan yang dibahas, pelukan ibunya dan segudang kenangan yang terus berlayar dipikirannya.

Kemudian dia putuskan untuk pindah ke rumah nya yang lain. Membawa selimut, bantal, dan perasaan kehilangan yang menyesakan dada memenuhi hatinya. Pesan singkatku mengganggu waktunya dan sepertinya dia memutuskan untuk menelponku.

Setelah perbincangan yang cukup panjang semuanya pecah, meluap dan tak tertahankan. Kudengar tangisannya yang begitu sakit kehilangan Ibunya. Dadanya yang pasti sesak, pikirannya yang pasti berisik, hatinya yang pasti sepi semuanya menyerang tak bergantian. Dia dituntut untuk kuat oleh semesta akhirnya roboh ditengah sunyinya malam. Tangisannya yang begitu menyakitkan, aku mendengarnya. Namun aku tidak tahu apa yang harus kuperberbuat. Aku hanya bisa diam mendengarkannya. Aku takut kata-kata ku menyakitinya dan melukainya. Aku takut salah berucap. Aku takut dengan prasangka-prasangka ini. Aku takut makin memperumit pikirannya, hatinya, perasaannya. Kuputuskan untuk diam mendengarkannya dan tanpa kusadari tangisku ikutan pecah. aku diam seribu bahasa dan menutup mulutku agar dia tidak mendengar tangisku.

Tiba-tiba telpon itu mati dan dia pamit lewat pesan singkat  "saya mau menelpon keluargaku". Lalu kukirim pesan singkat “kalau sudah selesai. Hubungi aku lagi yaa”

Sejam berlalu, dua jam berlalu, seharian telah berlalu. Dia tak pernah menghubungiku lagi. Semalaman aku terjaga karena khawatir dia mencariku. Namun tidak. “Apakah ini cara laki-laki menenangkan dirinya? Apakah dia benar-benar menelpon keluarganya? Atau menangis sendirian? Apa yang harus kulakukan?” semalaman pikiran itu menghantuiku

Tak ada satu pesan singkatku yang dia balas. Berulang kali kuhubungi, tak ada respon sama sekali. Aku selalu merasa bukan siapa-siapa dihidupnya. Disaat terpuruk aku seperti orang asing. Aku hanya bisa melakukan hal-hal yang bisa kulakukan dan yang bisa kulakukan hanya berdoa untuk ketenangan Ibu disana.

Al-Fatihah untuk Ibu…

Malam yang Terjaga Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Vita Sizu

0 komentar:

Post a Comment