MALAM YANG TERJAGA
Malam selasa yang sunyi
kuisi dengan mencurahkan isi hati lewat diary dan doa-doa yang kupanjatkan pada
Sang Maha Kuasa. Kutumpahkan segala beban dan keadaan, kuadukan semuanya tak satu
kalimatpun kulewatkan. Kuhabiskan tangisku, aduanku, dan inginku disepanjang
doa-doaku. Semua beban serasa terangkat dan lepas dari belenggu diri ini. Kuputuskan
untuk membaca buku “Terapi Berpikir Positif” yang ditulis oleh Dr. Ibrahim
El-Fiky. Pada bab pikiran mempengaruhi perasaan, banyak pelajaran yang bisa
diambil. Salah satunya ketika pikiran kita mengenang kebahagiaan maka perasaan
kita mengikuti kebahagiaan itu pun sebaliknya. Ku baca buku ini pelan-pelan sambil memeluk
kesunyian dan kesendiriaan.
Tiba-tiba…
Dering telpon memecah
kesunyian. Ternyata itu dia. Iya dia laki-laki yang pernah kuanggap segalanya,
laki-laki yang kuanggap duniaku, rumahku, dan masa depanku. Laki-laki baik,
kuat, penuh kasih sayang, dan penuh tanggung jawab. Sayangnya laki-laki itu tidak
pernah menjadikanku rumah, tidak pernah membutuhkanku, dan aku bukanlah
tujuannya.
Kembali ke cerita awal. Dering
telpon itu tak langsung kuangkat. Perasaanku dan logikaku berperang untuk memutuskan
“Apakah harus?” mengangkat atau membiarkan dering itu. Kemudian kuputuskan
untuk menerima telponnya. Ku dengar suaranya yang sepertinya telah lelah dengan
aktifitasnya hari ini “kamu kemana aja? Kamu gimana kabarnya? Kamu kenapa? Aku merindukan
komunikasi seru kita.” Kalimat-kalimat itu sangat berisik dipikiranku. Namun tak
berani kuutarakan. Yang terjadi hanya pertanyaan-pertanyaan yang dia lontarkan
dan aku menjawab seadanya. dia bertanya tentang keadaanku dan aktifitasku. Namun
bodohnya aku. Aku tak pernah bertanya bagaimana keadaannya, bagaimana perasaanya,
bagaimana harinya dilewati. Tak pernah kutanyakan hal bahagia apa yang terjadi
padanya. Hal berat apa yang dia pikul saat ini.
Tiba-tiba dia bercerita kegiatannya
yang sedari pagi sampai malam yang begitu sibuk dengan segudang kepentingan yang dia
tinggalkan akhir-akhir ini. Beberapa bulan ini dia disibukan dengan
pengabdiannya pada Ibu yang sedang sakit. Dan Qodarulloh Ibu meninggal pada
hari Minggu 24 September. Dia bercerita tentang kegelisahannya yang tidak bisa
tidur. Pikirannya kemana-mana. Setiap sudut dirumahnya diisi kenangan bersama
ibunya. Canda tawa bersama Ibunya, obrolan-obrolan ringan yang dibahas, pelukan
ibunya dan segudang kenangan yang terus berlayar dipikirannya.
Kemudian dia putuskan
untuk pindah ke rumah nya yang lain. Membawa selimut, bantal, dan perasaan
kehilangan yang menyesakan dada memenuhi hatinya. Pesan singkatku mengganggu
waktunya dan sepertinya dia memutuskan untuk menelponku.
Setelah perbincangan yang cukup panjang semuanya pecah, meluap dan tak tertahankan. Kudengar tangisannya
yang begitu sakit kehilangan Ibunya. Dadanya yang pasti sesak, pikirannya yang
pasti berisik, hatinya yang pasti sepi semuanya menyerang tak bergantian. Dia dituntut
untuk kuat oleh semesta akhirnya roboh ditengah sunyinya malam. Tangisannya yang
begitu menyakitkan, aku mendengarnya. Namun aku tidak tahu apa yang harus kuperberbuat. Aku
hanya bisa diam mendengarkannya. Aku takut kata-kata ku menyakitinya dan
melukainya. Aku takut salah berucap. Aku takut dengan prasangka-prasangka ini.
Aku takut makin memperumit pikirannya, hatinya, perasaannya. Kuputuskan untuk diam mendengarkannya dan tanpa kusadari tangisku ikutan pecah. aku diam seribu bahasa dan menutup mulutku agar dia tidak mendengar tangisku.
Tiba-tiba telpon itu mati
dan dia pamit lewat pesan singkat "saya mau menelpon keluargaku". Lalu kukirim pesan singkat “kalau sudah
selesai. Hubungi aku lagi yaa”
Sejam berlalu, dua jam
berlalu, seharian telah berlalu. Dia tak pernah menghubungiku lagi. Semalaman aku
terjaga karena khawatir dia mencariku. Namun tidak. “Apakah ini cara laki-laki
menenangkan dirinya? Apakah dia benar-benar menelpon keluarganya? Atau menangis sendirian? Apa yang harus kulakukan?” semalaman pikiran itu
menghantuiku
Tak ada satu pesan
singkatku yang dia balas. Berulang kali kuhubungi, tak ada respon sama sekali. Aku
selalu merasa bukan siapa-siapa dihidupnya. Disaat terpuruk aku seperti orang
asing. Aku hanya bisa melakukan hal-hal yang bisa kulakukan dan yang bisa
kulakukan hanya berdoa untuk ketenangan Ibu disana.
Al-Fatihah untuk Ibu…
0 komentar:
Post a Comment